Selasa, 31 Mei 2011

prospek perekonomian indonesia 2011

Nama : intan putri
NPM : 23210571
Kelas : 1EB06

Perekonomian Indonesia pada 2010 dinilai sejumlah kalangan cukup menggembirakan. Di saat sebagian besar negara di dunia mengalami pertumbuhan negatif, perekonomian Indonesia justru tumbuh dengan laju sekitar enam persen.

World Economic Forum melaporkan, peringkat daya saing Indonesia untuk 2010-2011 naik 10 tingkat di angka 44 dari peringkat sebelumnya di level 54. Kenaikan itu terutama didorong kinerja makro ekonomi yang sangat baik. Linerja ekspor tumbuh pesat.

Komite Ekonomi Nasional atau KEN, lembaga yang ditugasi untuk memberi masukan kebijakan ekonomi kepada Presiden, meyakini laju ekonomi Indonesia tahun depan akan melaju lebih cepat. KEN berharap bisa mendorong pemerintah memaksimalkan momentum pertumbuhan ekonomi ini.

Antara lain dengan terciptanya koordinasi yang baik, pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, serta tetap mewaspadai gejolak keuangan global.  "Melakukan akselerasi, percepatan supaya ekonomi kita bisa tumbuh lebih cepat lagi," kata Chairul Tanjung, Ketua KEN, pada acara diskusi Prospek Ekonomi 2011 di Jakarta, Senin (20/12).

Dengan kebijakan ekonomi yang tepat, KEN yakin perekonomian Indonesia tahun depan akan tumbuh dengan laju 6,4 persen. Menurut KEN, tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi kita secara serentak. Semetnara total out put perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7.726 triliun. Ini dikarenakan Indonesia baru memasuki fasa ekspansinya.

Meski begitu, lembaga penasehat ekonomi Presiden ini berharap pemerintah mewaspadai tantangan dan risiko di tahun mendatang. Tantangan tersebut baik gejolak keuangan dunia maupun faktor dalam negeri yang bisa berakibat buruk pada stabilitas ekonomi makro.(BOG)

 Refrensi : http://berita.liputan6.com/ekbis/201012/312293/prospek_ekonomi_indonesia_2011_menjanjikan

Senin, 09 Mei 2011

pertumbuhan ekonomi dalam bidang listrik tahun 2005-2009

Nama : intan putri
Kelas :1EB06
NPM : 23210571

Listrik Dan Pertumbuhan Ekonomi

Listrik dan pertumbuhan ekonomi tak bisa dipisahkan. Rumus umum bahwa lemahnya ketersediaan pasokan listrik berdampak pada rendahnya pertum- buhan ekonomi tetap berlaku. Begitu sebaliknya. Bagusnya kualitas dan kuantitas pasokan listrik ikut menaikkan pertumbuhan yang berdampak pada pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta menaikkan pendapatan per kapita masyarakat.
Seperti diakui Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, bahwa masalah infrastruktur seperti ketersediaan listrik, transportasi dan ekonomi biaya tinggi menjadi penentu pertumbuhan ekonomi nasional. Sulit bagi Indonesia untuk bisa bersaing di ajang internasional jika persoalan sarana listrik tidak bisa diatasi.
Itu juga menyebabkan mandeknya investasi yang masuk tanpa kecukupan ketersediaan listrik. Apalagi, banyak survei yang mengungkapkan bahwa dunia usaha menyebut persoalan Listrik sebagai salah satu kendala utama investasi yang harus diatasi. Selain listrik, gas dan transportasi masuk di dalamnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menilai arti penting tersedianya energi listrik untuk pembangunan. Untuk kehidupan masyarakat agar lebih baik dan ekonomi yang sedang tumbuh, papar Presiden, ketersediaan pasokan listrik menjadi sangat penting. Karena itu, Presiden menegaskan pentingnya pembangunan pembangkit listrik yang harus diwujudkan, baik melalui pemerintah dan PLN maupun swasta.
Kasus pemadaman bergilir, mati lampu, dan masih lemahnya kondisi pembangkit PLN berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi. Di Jakarta, misalnya, potensi aktivitas ekonomi yang hilang akibat pemadaman bergilir mencapai ratusan miliar rupiah, yang kebanyakan melibatkan sektor usaha kecil dan menengah. Begitu juga yang terjadi di wilayah lain di Tanah Air.
Jika PLN dan pemerintah mampu mengatasi krisis listrik lebih dini, maka pada 2009 lalu pertumbuhan ekonomi bisa mencapai enam persen. Realisasi pertumbuhan ekonomi di periode itu hanya 4 persen lebih atau seperti yang diinginkan pemerintah. Pertumbuhan listrik yang stucked di angka 5-6 persen menjadi penyebab kecilnya pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk persoalan keandalan listrik PLN.
Sejumlah masalah pelik di atas bisa diatasi dengan berbagai langkah yang sebetulnya sudah berjalan, meski lambat dan penuh hambatan di sana sini. Pertama, proyek listrik 10 ribu MW tahap pertama dan kedua sudah seharusnya dipercepat dan bisa dituntaskan sebelum deadline yang diberikan. Meski proyek ini lebih bersifat jangka pendek-menengah, namun keduanya akan mampu menopang kebutuhan pertumbuhan listrik yang seharusnya bisa 9-10 persen.
Dengan pertumbuhan listrik 9-10 persen per tahun, pertumbuhan ekonomi nasional akan berada di angka enam persen. Namun, jika pertumbuhan listrik hanya 4 persen, sulit untuk mendongkrak ekonomi. Pasalnya, angka empat persen merupakan angka seharusnya pertumbuhan listrik yang berasal dari konsumsi rumah tangga dan industri. Dengan demikian, jika pertumbuhan listrik hanya 4-5 persen, itu menandakan kegiatan ekonomi bergerak lambat. Dan pertumbuhan ekonomi tidak memberikan kabar yang bagus.
Kedua, pemerintah harus terus mendorong dan mendukung bekerjanya pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Selain PLN, swasta juga mesti dilibatkan dalam upaya mengatasi krisis listrik di Indonesia. Jelas, dari segi biaya dan tenaga, PLN tidak sanggup membangun semua pembangkit yang dibutuhkan konsumen industri dan rumah tangga.
Ketiga, peran IPP di proyek 10 ribu MW tahap kedua harus ditopang oleh adanya jaminan terhadap investasi mereka. Sebelumnya, pemerintah menolak menjamin proyek tersebut karena berdampak negatif teFhadap APBN. Dan keempat, proyek pembangkit non-BBM harus terus dikedepankan agar mengurangi biaya tinggi dalam industri listrik.
Keempat, jangan naikkan tarif listrik. PLN memang butuh investasi besar untuk mengatasi krisis listrik yang terjadi sejak lama. Alokasi subsidi yang diberikan pemerintah dinilai PLN tidak cukup untuk menutup biaya operasional perusahaan secara keseluruhan. Margin keuntungan yang sebelumnya hanya lima persen pun dianggap tidak mampu menolong kinerja keuangan PLN. Juga, masih tingginya ketergantungan pembangkit PLN terhadap bahan bakar minyak (BBM) juga jadi masalah, yang kemudian melahirkan lingkaran setan yang terus berulang atas masalah krisis listrik.
Namun, jika melihat daya beli masyarakat saat ini, kenaikan tarif listrik hanya akan menambah persoalan. Krisis global yang sedikit banyak berdampak pada perekonomian nasional ikut memengaruhi kemampuan belanja masyarakat. Kelompok menengah yang tadinya memiliki anggaran untuk rekreasi, misalnya, kini harus mengencangkan ikat pinggang untuk memenuhi segala kebutuhan dasar, dari pendidikan hingga pangan.
Masyarakat ekonomi bawah yang terus tergilas kenaikan harga bahan pokok, minyak, dan kebutuhan lainnya, akan semakin berat jika biaya energi juga ikut naik. Kenaikan TDL sangat mungkin dilakukan jika kemampuan daya beli kelompok menengah dan bawah ini makin kuat. Sebaliknya, jika daya beli mereka semakin rendah, kenaikan tarif listrik hanya akan menambah gejolak ekonomi di tingkat akar rumput, yang berdampak buruk pada usaha-usaha lain.
Konsekuensi dari itu semua, pemerintah butuh dana besar untuk investasi sektor ketenagalistrikan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Z Saleh telah menyampaikan bahwa kebutuhan investasi listrik 2010 2014 mencapai 50,39 miliar dolar AS. Sumber pendanaan investasi tersebut akan berasal dari APBN, swasta maupun BUMN.
Kebutuhan investasi terbesar adalah pembangkit PLN yang mencapai 19,76 miliar dolar AS. Untuk transmisi dan distribusi PLN, dibutuhkan investasi 6,053 miliar dolar AS. Transmisi dan distribusi yang dibiayai APBN mencapai 11,27 miliar dolar AS. Kebutuhan investasi lainnya adalah pembangkit swasta (IPP). Pada 2010-2014, kebutuhan investasi untuk pembangkit swasta mencapai 13,30 miliar dolar AS.
Menggerakkan ekonomi
Sulit sekali menghindari listrik jika kita membahas masalah kemajuan dan per- tumbuhan industri baik besar maupun kecil. Dengan asumsi pertumbuhan listrik yang tinggi ditopang membaiknya investasi di sisi pembangkit, kegiatan ekonomi akan bergerak dengan sendirinya. Saat ini, cukup banyak ditemui gagalnya investor menanamkan modalnya di suatu daerah karena hambatan Listrik.
Bagaimana mungkin investor itu membangun dan membesarkan hotelnya, sebagai contoh, jika PLN tidak memberikan jaminan terhadap pasokan listriknya. Pihak hotel jelas merasa keberatan jika setiap saat menggunakan listrik yang dimilikinya atau membangun pembangkit sendiri mengingat tingginya biaya yang diperlukan.
Hal sama juga terjadi di sektor industri manufaktur lainnya. Investor enggan membangun pabrik atau merelokasi industrinya ketika PLN menyatakan tidak janji memberikan pasokan listrik secara andal. Akhirnya mereka pun wait and see dan sebagian malah lebih memilih negara lain yang lebih baik infrastruktur penunjangnya, termasuk listrik dan jalan.
Terhadap kinerja PLN sendiri, pemerintah harus memperkuat likuiditas perusahaan pelat merah itu. Langkah pemerintah dengan menaikkan margin keuntungan PLN dari lima persen menjadi delapan persen itu jelas memberikan keuntungan tersendiri bagi PLN. Dan itu bisa dijadikan modal PLN untuk bisa memperkuat permodalannya di sisi pembangkit. Tanpa modal yang kuat, sulit bagi PLN untuk bergerak lebih leluasa.
Belakangan, pemerintah setuju menaikkan margin keuntungan PLN menjadi delapan persen. Ini artinya, PLN mampu mencari dana dari pasar modal hingga Rp 21 triliun untuk pembiayaan investasi pembangkitan. Margin keuntungan yang tinggi berdampak pada naiknya pendapatan PLN, yang ikut menaikkan peringkat utang.
Membaiknya peringkat utang berdampak juga pada kemampuan PLN mencari dana dari pasar, yang dari sana perusahaan listrik milik negara ini bisa menutup segala kebutuhan investasinya. Dengan demikian, perolahan dana dari kenaikan tarif listrik tidak diperlukan lagi oleh PLN



Kebijakan di bidang energi

Selama kurun waktu 2005-2009 bidang energi termasuk tenaga listrik
menghadapi beberapa permasalahan, antara lain masih tingginya
ketergantungan kepada produk minyak bumi; keterbatasan infrastruktur;
pertumbuhan dan intensitas energi yang masih tinggi; dan keterbatasan dana
untuk pengembangan infrastruktur. Beberapa langkah kebijakan yang telah
ditempuh, antara lain: 1) meningkatkan pemanfaatan gas bumi nasional sesuai
dengan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional
(RIJTDGBN); 2) melanjutkan program konversi (diversifikasi) energi, melalui
pengalihan pemanfaatan minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG); 3)
percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW; 4) pengembangan
usaha Hilir Migas dilaksanakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat, dan transparan; 5) restrukturisasi sektor energi; serta 5)
meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan energi.
Hasil-hasil di bidang energi yang dicapai hingga Juni 2009 antara lain: 1)
pembangunan pipa transmisi gas bumi Sumatera Selatan-Jawa Barat tahap I dan
tahap II yang akan meningkatkan pasokan gas untuk daerah Jawa Barat, Jakarta,
dan Banten. 2) pengembangan wilayah distribusi gas bumi di Jawa Bagian Barat
yang melalui Domestic Gas Market Development Project; 3) pembangunan 2
kilang mini minyak bumi dan 3 kilang mini LPG; 4) pembangunan kilang
Liquefied Natural Gas (LNG) di Tangguh; 5) pelaksanaan program pengalihan
dari minyak tanah ke LPG; 4) pengembangan Desa Mandiri Energi (DME) yang
berbasis NonBBN (Bahan Bakar Nabati) dan berbasis BBN; 5) penyelesaian
beberapa peraturan, antara lain UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi; PP No.
59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; dan Perpres No. 104 tahun
2007 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kilogram Untuk
Rumah Tangga dan Usaha Kecil; Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional.
Sementara itu, dalam pembangunan kelistrikan telah dilaksanakan: 1)
penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.457 MW; 2) pembangunan
pembangkit listrik skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia yang
menggunakan pembangkit listrik tenaga hidro dan panas bumi; 3) percepatan
pembangunan PLTU 10.000 MW; 4) pembangunan jaringan transmisi sebesar
4.137 km; 5) pencapaian rasio elektrifikasi sebesar 65,1%; 6) pencapaian rasio
desa berlistrik dari 86,26% (2004) menjadi 92,2% (2008); dan 7)
pengembangan Energi Baru Terbarukan dalam bentuk Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH),
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Biofuel.

refrensi : http://bataviase.co.id/node/125051

http://www.ekon.go.id/media/filemanager/2010/12/29/s/a/salinan_peraturan_menko_perekonomian_nomor_1_tahun_2010_ttg_renstra_lampiran_1.pdf